Monday 11 January 2016

Keteledoran Metro TV Memasukkan Wahdah Islamiyah dan DR. Zaitun Rasmin Sebagai Teroris

Metro tv kembali membuat ulah dengan memasukkan organisasi Wahdah Islamiyah, beserta ketua umumnya yaitu Dr. Zaitun Rasmin sebagai jaringan teroris di Indonesia.

Perlu diketahui, selain menjabat sebagai ketua umum Wahdah Islamiyah, Dr. Zaitun Rasmin juga aktif sebagai Wasekjend MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai Asia Tenggara. Beliau juga pernah diundang sebagai narasumber dalam program Indonesia Damai di TV One dan Cahaya Hati ANTV.
Jika beliau memiliki track record sebagai pelaku terorisme atau memiliki pemahaman teroris, maka bagaimana mungkin beliau bisa menduduki jabatan penting di MUI.

Metro TV memang sembrono dalam mengeluarkan berita, apalagi jika itu berkaitan dengan umat Islam. Apakah karena penonton Metro TV yang semakin sedikit, sehingga harus mencari sensasi untuk meningkatkan rating. Seringnya, oleh Metro TV,  umat Islam dijadikan sasaran kesalahan atas setiap peristiwa kekerasan yang terjadi di negeri ini.

Apakah Metro TV diisi oleh redaktur-redaktur somplak yang tak mampu melakukan riset sebelum menerbitkan sebuah berita. Begitu mudahnya menuduh seseorang tanpa disertai dengan bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Wahdah Islamiyah merupakan ormas Islam yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Ormas ini tak beda dengan ormas lainnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah, NU, atau Persis yang fokus kegiatannya adalah dakwah, pendidikan, dan sosial. Tujuan didirikannya Wahdah Islamiyah bukanlah untuk membuat onar, apalagi menebar teror ke seantero negeri. Wahdah Islamiyah didirikan untuk menebarkan kebaikan, mengajak umat muslim untuk kembali ke agamanya, menjalankan syariat-syariatnya, dan turut membantu sesama, semisal anak yatim dan fakir miskin.

Kembali kepada syariat jangan melulu diartikan sebagai keyakinan yang radikal, keras, atau kolot. Untuk menjadikan negeri ini baik, kita tidak bisa hanya bergantung pada kerja polisi, hakim, ataupun jaksa. Kita butuh dai yang maju berdakwah untuk mengajak orang lain menjadi baik secara sadar. Itulah salah satu fungsi dan manfaat keberadaan ormas Islam yaitu mengajak dan mengubah seseorang untuk tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berzina, tidak minum minuman keras, dengan menyampaikan nasihat yang menggugah hati, bukan dengan ancaman senjata atau pidana sebagaimana yang dilakukan aparat.

Oleh karenanya, begitu berbahayanya tuduhan Metro TV yang memasukkan Wahdah Islamiyah dan ketua umumnya, Dr. Zaitun Rasmin, sebagai jaringan teroris nasional. Karena dengan tuduhan itu, tentu akan merusak citra Wahdah Islamiyah sebagai lembaga sosial dan dakwah, dan Dr. Zaitun Rasmin sebagai seorang dai. Maka dengan berita bohong itu, Metro TV sudah melakukan pembunuhan karakter!

Jika Metro TV merasa bahwa berita yang disampaikannya adalah valid, apakah mereka berani bertemu, berdialog, atau berdebat langsung dengan Dr. Zaitun Rasmin? Memang aneh, ketika seorang pejabat atau penguasa parpol dituduh atas suatu perkara, Metro TV masih sempat melakukan cek dan ricek, kepada yang bersangkutan. Namun mengapa dalam kasus tuduhan teroris ini, mengapa Metro TV tidak terlebih dahulu mengecek kebenarannya? Apakah karena Dr. Zaitun Rasmin bukan seorang politisi yang menduduki jabatan elit, dan jauh dari kursi penguasa, lantas Metro TV dengan seenaknya berlaku semena-mena? 

Betapa jahatnya jika Metro TV tidak berusaha mengklarifikasi beritanya yang telah menuduh Dr. Zaitun Rasmin dan organisasi yang diketuainya, Wahdah Islamiyah, sebagai jaringan teroris nasional. Beliau adalah seorang dai, dimana seorang dai sangat membutuhkan nama baik, kredibilitas, agar dakwahnya dapat diterima oleh banyak orang. Jika nama baik seorang dai tercemar, apakah ada orang yang mau mendengar nasihatnya? Metro TV sebenarnya telah melakukan kejahatan, karena telah menyebar berita dusta yang dapat membunuh karakter seseorang.

Apakah Metro TV sedang merasa kebal hukum, karena sang owner berada dalam lingkar kekuasaan RI 1, sehingga begitu mudahnya menayangkan berita sembrono. Seharusnya Metro TV tahu diri dengan segera meminta maaf kepada Dr. Zaitun Rasmin atas pemberitaannya yang berbau hoax itu.


Tapi yang lebih menarik tentu jika redaktur berita Metro TV berani berdebat dengan petinggi-petinggi Wahdah Islamiyah untuk mempertanggungjawabkan tuduhan mereka yang menyatakan bahwa Dr. Zaitun Rasmin dan organisasinya, Wahdah Islamiyah, termasuk jaringan teroris nasional. Berani dengan tantangan ini? Jika mereka berani mempertanggungjawabkannya dengan berdikusi atau berdebat langsung dengan petinggi Wahdah Islamiyah, apalagi disiarkan oleh Metro TV sendiri, tentu patut diacungi jempol. Namun rasanya itu hanyalah mimpi.

Metro TV Media yang Jemawa

Ketika Anda melihat seseorang yang berperilaku angkuh, congkak, sombong, merendahkan orang lain, maka itulah sosok yang jemawa.

Sifat jemawa memang baru-baru ini sangat cocok jika dilekatkan dengan sesosok media bernama Metro TV yang dengan lantangnya berani menuduh sebuah ormas Islam (Wahdah Islamiyah) dan seorang dai (Dr. Muhammad Zaitun Rasmin) dengan tuduhan sebagai jaringan teroris nasional. Entah redaktur sang media jemawa sedang bermimpi, mengigau, atau mengantuk, berani menayangkan berita dengan bobot keabsahan yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Wahdah Islamiyah merupakan ormas Islam resmi yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementrian Dalam Negeri. Demikian juga Dr. Zaitun Rasmin merupakan seorang dai yang memiliki jabatan sebagai Ketua Umum Wahdah Islamiyah, Wasekjend MUI, narasumber program ceramah di tv nasional (TV One dan ANTV), dan selalu melakukan tabligh secara terbuka. Jadi jangan samakan Wahdah Islamiyah dengan ISIS yang masuk ke negeri ini dengan cara menyelinap diam-diam. Dan jangan samakan Dr. Zaitun Rasmin dengan gembong teroris Santoso yang aktivitasnya selalu di pelosok hutan lebat. Jadi logika ngelindur bin ngelantur redaktur berita dari sang media jemawa dengan memasukkan sebuah ormas yang terdaftar legal dan seorang dai yang selalu melakukan dakwah terbuka, sebagai jaringan teroris nasional. 
Sang media jemawa begitu serampangan menuduh suatu kelompok atau person ke dalam jaringan teroris. Waktu bergulir, sejak datangnya tuduhan itu, ormas Islam dan dai yang dituduh segera berusaha membuat klarifikasi ketidakbenaran berita yang disampaikan oleh sang media jemawa. Citra ormas Islam dan dai itu tentunya sedikit tercoreng dengan adanya tuduhan teroris itu.

Sang media jemawa tampaknya memang tenang-tenang saja. Tidak terdengar atau terlihat membuat klarifikasi atau meminta maaf atas berita dusta yang sudah ditayangkannya. Kebetulan owner sang media jemawa berada dekat dilingkaran penguasa. Apa jangan-jangan sang media jemawa sedang merasa kebal hukum karena Jaksa Agung pun, dulunya adalah anak buah dari sang owner. Niat hati mau menuntut hukum, eh, malah dituntut balik.
Setiap pemberitaan tentang teroris, sang media jemawa selalu fokus main tuduh pada kelompok dan orang Islam. Padahal baru berstatus terduga. Namun pemberontak dibagian Timur Indonesia sana yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI dan membunuhi puluhan aparat TNI-Polri, tak pernah dijuluki dengan sebutan teroris. Apakah karena pemberontak yang diujung timur sana tidak menggunakan atribut Islam, tidak bernama Islam, tidak berideologi Islam, meskipun meneror penduduk sipil dan aparat militer, lantas tidak layak disebut teroris?

Jadi sebenarnya apa definisi teroris? Apa kriteria suatu kelompok atau seseorang layak disebut teroris? Apakah teroris adalah setiap pihak yang berlawanan ideologi dengan sang media jemawa. Jelas cara seperti itu tidaklah adil.

Tapi namanya juga jemawa, biasanya bertindak ‘suka-suka gua’. Yang penting berita panas sudah bergulir, tayangan dapat rating, order iklan pun mengalir. Perkara kelompok atau orang yang dituduh teroris jadi pusing, ‘emangnya gua pikirin’. Barang kali itu isi otak dari redaktur-redaktur dari sang media jemawa. Mereka bertindak tanpa tanggung jawab. Ketika diprotes, bisa jadi mereka akan koar-koar dengan semboyan kebebasan pers.

Sang media jemawa ini tampaknya memang tak mengenal kata salah dan dosa. Mungkin menurut mereka, orang-orang yang membuat rusuh, melempar batu, dan menghunus pisau, baru itu disebut anarki. Padahal orang-orang yang duduk dibalik meja redaksi dengan membuat berita yang menghujat dan menuduh dengan sembrono, hakikatnya sama dengan berbuat anarki. Mereka ini telah menebarkan kebencian, permusuhan, dan adu domba ditengah masyarakat, sekaligus melakukan pencemaran nama baik pada pihak yang telah dituduh tersebut.

Goresan tinta yang berisi hujatan dan tuduhan keji dapat membunuh kehormatan seseorang. Apalagi jika tuduhan itu di-blow up media, maka dampak merusaknya akan lebih besar lagi. Apa jadinya hidup dengan kehormatan yang sudah terkoyak, apalagi jika dia seorang dai.

Namun sudah menjadi sejarah yang akan selalu terulang bahwa suatu kelompok atau individu yang melakukan aktivitas dakwah, akan selalu ada pihak-pihak yang merasa gerah dan kepanasan, sehingga harus merasa perlu untuk menghalang-halangi aktivitas dakwah tersebut.

Karena tidak pernah mendapat respon anarki, nampaknya itu yang membuat sang media jemawa merasa bebas untuk menuduh kelompok-kelompok Islam dengan tuduhan yang keji. Tentu aktivis dakwah merasa tidak perlu untuk berbuat anarki kepada sang media jemawa, karena darah mereka terlalu mahal untuk dialirkan hanya karena sebuah pemberitaan media jemawa yang hakikatnya murahan. Propaganda kotor sang media jemawa rasa-rasanya tidak akan menyurutkan perjuangan para aktivis dakwah. Bahkan masyarakat luas pun nyata-nyata sudah muak dengan segala bentuk pemberitaan sang media jemawa yang hanya menjadi corong pencitraan politik sang owner.

Sebenarnya sudah menjadi keharusan jika setiap pemberitaan harus berdasar fakta dan data yang valid. Jika sang media jemawa ini mengaku sebagai sebuah news station, maka tiap pemberitaannya harus bisa dicek kebenarannya. Jika pemberitaannya tidak bisa dibuktikan kebenarannya, maka tak bedanya sang media jemawa dengan biang gossip, kalau tak mau dibilang sebagai pendusta.


Wahdah Islamiyah Membantah Tuduhan Keji Metro TV!

Redaktur berita Metro TV sungguh teledor ketika membahas pemberitaan tentang jaringan teroris nasional. Entah mereka dapat info dari bungkus gorengan atau kliping loakan, sehingga bisa ngawur memasukkan Wahdah Islamiyah sebagai bagian dari jaringan teroris.

Pemberitaan dari redaktur Metro TV yang keblinger dan terkesan asal jeplak itu memang seharusnya segera dikoreksi. Jika dibiarkan begitu saja, maka akan merusak kredibilitas Wahdah Islamiyah sebagai lembaga dakwah, pendidikan, dan sosial yang legal.

Berikut ini fakta-fakta tentang Wahdah Islamiyah.

Wahdah Islamiyah merupakan ormas Islam yang berdiri sejak tahun 2002 serta terdaftar di Kementrian Dalam Negeri RI. Jadi Wahdah Islamiyah berdiri dengan mendaftarkan diri di lembaga pemerintahan, bukan dengan cara kucing-kucingan dengan aparat.

Muktamar I Wahdah Islamiyah di Makassar pada 27 Juli 2007 dibuka langsung oleh Wapres RI Jusuf Kalla, bukan dibuka oleh pimpinan Al-Qaeda, Osama Bin Laden.

Wahdah Islamiyah memiliki markas pusat yang beralamat di Jl. Antang Raya 48, Makassar, Sulawesi Selatan. Letaknya mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi atau umum. Jadi jangan bandingkan dengan letak markas OPM, Din Minimi mantan kombatan GAM, atau Kelompok Santoso di Poso yang Anda harus bersusah-susah masuk ke wilayah hutan lebat atau mendaki ke puncak gunung untuk mencapai lokasinya, itu pun Anda belum tentu bisa pulang dengan selamat.

Ormas ini juga memiliki lembaga pendidikan mulai tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Seluruhnya terdaftar di institusi resmi pemerintahan. Tentu lembaga pendidikan yang dimaksud adalah sekolah sebagaimana umumnya, bukan lembaga pendidikan militer yang menghasilkan sniper atau bomber.

Wahdah Islamiyah memiliki website resmi yaitu www.wahdah.or.id yang umumnya berisi artikel islami serta publikasi kegiatan dakwah dan sosial. Hosting dan domain berbayar, bukan gratisan.
Seluruh kegiatan Wahdah Islamiyah berupa kajian keislaman, tabligh akbar, aksi sosial, dapat diikuti oleh masyarakat luas dan tidak bersifat eksklusif kalangan internal organisasi saja.

Jadi organisasi ini resmi didirikan dengan mengikuti prosedur undang-undang organisasi kemasyarakatan. Tidak ada gerakan organisasi untuk memisahkan diri dari NKRI atau dorongan melakukan aksi bombardir ditempat-tempat umum. Membunuh kucing saja diharamkan, apalagi membunuh manusia.

Oleh karenanya, kepada redaktur berita Metro TV, jika merasa pejantan tangguh, intelektual sejati, jurnalis jujur dan bernurani, cobalah berhadapan dengan pengurus Wahdah Islamiyah untuk mempertanggungjawabkan tuduhan kalian bahwa Wahdah Islamiyah adalah bagian dari jaringan teroris nasional. Jabarkan dengan bukti ilmiah tentang kebenaran pemberitaan kalian. Jangan hanya berani lempar berita panas, lalu sembunyi dibalik meja.

Kalau Metro TV diplesetkan dengan Media Teror TV, karena pemberitaannya selalu main tuding dan tuduh, sehingga orang yang diberitakan selalu merasa terteror, toh para redaktur  Metro TV itu tidak terima juga kan?




Tuesday 22 September 2015

Polemik Ahmadiyah

Orang bilang demokrasi adalah jalan keadilan. Keadilan yang utopia, mimpi yang tak akan jadi nyata. Demokrasi tetap akan meninggalkan jejak-jejak penindasan, karena ia mudah dipermainkan oleh pemangku kekuasaan yang tiran. Realitanya, dalam praktiknya, kebenaran tak selalu berada pada pihak mayoritas, dan mayoritas tak berarti pemenang. Itulah yang dialami umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia. Polemik Ahmadiyah, sebenarnya bisa selesai jika demokrasi diaplikasikan dengan jujur di negeri ini. Dalam demokrasi, esensinya, mayoritas merupakan jawara, penentu kebenaran. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi terakhir, tiada nabi setelahnya. Sedangkan Ahmadiyah, sekte yang mengakui sang pendusta Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, mereka hanyalah minoritas. Jika kita ingin menerapkan demokrasi dengan jujur, dimana kebenaran ditentukan oleh mayoritas, maka seharusnya kita sepakat bahwa keyakinan Ahmadiyah adalah salah. Islam mengakui adanya perbedaan, perbedaan yang jelas-jelas berbeda, yaitu adanya agama-agama selain Islam. Islam tidak menghendaki adanya perbedaan persepsi didalam ajarannya, terutama menyangkut permasalahan prinsip. Persaksian dan pengakuan terhadap Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan Tuhan dan nabi terakhir, merupakan pondasi keislaman seseorang. Muhammad sebagai nabi terakhir adalah kebenaran mutlak, keyakinan yang tidak bisa diganggu gugat, nilai-nilai prinsip yang telah menjadi konsensus umat Islam di seluruh dunia, sejak diangkatnya Muhammad sebagai nabi hingga hari kiamat kelak.

Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, untuk membela kehormatan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi, perang terbuka pun dilakukan terhadap pendusta yang mengaku sebagai nabi palsu yang muncul saat itu, Musailamah Al-Kadzab. Sedangkan pada era pemerintahan umat Islam saat ini, idealnya memang pemerintah melakukan hal yang sama terhadap pelaku penistaan kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setidaknya, menolak legitimasi eksistensi sekte-sekte nabi palsu, meskipun itu sebenarnya dianggap sebagai tindakan yang terlemah. Kita memang tidak menginginkan adanya aksi anarki, pengrusakan, atau teror terhadap sekte-sekte menyimpang. Namun bila upaya persuasif secara argumentatif tidak dihiraukan, bahkan cenderung diabaikan, maka tidak bisa disalahkan umat Islam melakukan tindakan agresif, meskipun memang tidak dapat dibenarkan. Jika ada wacana dari pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang “suka” memicu keributan dan pengrusakan, maka sebenarnya pemerintah lebih layak untuk membubarkan sekte yang membahayakan moral, spiritual, dan keyakinan masyarakat. Bagaimanapun, menjaga moral dan spiritual masyarakat harus lebih diutamakan daripada sekedar melindungi aspek materil.

Jika ada orang yang mengaku sebagai muslim, namun ia mengakui adanya nabi setelah Muhammad, apakah dirinya pantas dinilai sebagai muslim, sementara ia telah melanggar aturan-aturan baku yang telah ditetapkan syariat. Memang wahyu memungkinkan perbedaan interpretasi, itupun tidak dalam segala aspek syariat. Dalam akidah, interpretasi tidak dilakukan secara semena-mena, sebab akidah bersifat kaku dan baku, hanya membolehkan satu tafsiran. Berbeda dengan aspek fikih atau muamalah, yang bersifat fleksibel, sehingga didalamnya bisa terdapat interpretasi lebih dari satu. Akidah memang wilayah hitam dan putih, tidak ada irisan abu-abu ditengah-tengahnya. Oleh sebab itu, terminologi dalam akidah hanya mencakup dua hal, benar atau salah; beriman atau kafir; lurus atau sesat.

Umat Islam sepakat bahwa penentuan benar atau salah, beriman atau kafir, lurus atau sesat, adalah otoritas Tuhan. Namun kita tidak perlu bersusah payah harus bertemu Tuhan untuk menegaskan perihal itu benar atau sesat. Tak usah terkecoh dengan ungkapan, “Apakah Anda sudah bertemu Tuhan kalo hal itu sesat?” Mungkin orang yang menyatakan ungkapan itu telah mengelabui dirinya sendiri, karena berusaha berpaling dari kebenaran yang sudah jelas berada dihadapan matanya. Tuhan telah mengutus nabi yang memberi petunjuk kepada umat manusia dalam bentuk sunnah. Tuhan pun telah menurunkan wahyu-Nya dengan perantaraan Jibril kepada nabi-Nya. Nabi-nabi-Nya pun telah menjelaskan secara rinci dan jelas tentang nilai-nilai kebenaran kepada umatnya. Tidak ada kebenaran yang tersembunyi, karena wahyu telah tersampaikan seluruhnya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Wahyu memberi panduan kepada manusia untuk menentukan dan menilai hakikat kebenaran. Apabila kebenaran selalu bersifat relatif dengan alasan hanya Tuhan yang dilangit yang tahu, maka kita anggap apa Al-Qur’an dan hadis yang telah diturunkan ke bumi itu? Bukankah Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber norma yang berasal dari Tuhan? Apa kita ingin beranggapan bahwa Tuhan dan nabi-nabi-Nya telah menyembunyikan kebenaran? Jika muncul anggapan adanya kebenaran yang masih tersembunyi, sekalipun hanya satu kebenaran, maka sama saja ia menganggap nabi sebagai penghianat. Perlu dipahami bahwa kebenaran yang dimaksud disini adalah dalam konteks ajaran Islam.

Tiap-tiap individu memang bertanggung jawab atas amalannya masing-masing. Mungkin, tidak ada orang yang ucapan dan perbuatannya yang seluruhnya benar, dalam batas tertentu bisa jadi ia terjerumus dalam kesesatan. Kesesatan yang dilakukannya memang menjadi urusan pribadinya dengan Tuhannya, jika kesesatannya itu sebatas pikiran yang diyakininya sendiri. Tentu menjadi perkara, apabila pikirannya itu terucap dalam kata-kata, apalagi sampai menjelma dalam bentuk perbuatan, sehingga bisa mempengaruhi kondisi psikologis orang lain yang ada disekitarnya. Akan lebih berbahaya lagi, jika dirinya dengan sengaja menyebarkan, berusaha meraih simpati dan dukungan untuk menjaga eksistensi kesesatannya itu. Kita tidak peduli jika kesesatannya dinikmatinya sendiri, namun kita merasa bertanggung jawab untuk menghalangi dan menekan, bila kesesatan itu berusaha disebarluaskan.

Agama, apapun namanya, pasti memiliki batasan-batasan, yang bila seseorang keluar dari batasan itu, maka ia dihukumi sebagai bersalah. Islam sebagai agamarahmatan lil’alamin, menyadari bahwa manusia adalah sosok makhluk yang tak lepas dari kelemahan dan kesalahan, sehingga memberi kesempatan bagi mereka yang berbuat salah untuk kembali pada kebenaran. Tak peduli sebesar apapun kesalahannya, selama ia kembali pada tuntunan wahyu dalam keadaan nafas masih mengalir dalam tubuhnya, Tuhan tetap akan mengampuninya. Tuhan Maha Pengampun, dan ampunan-Nya Maha Luas, tergantung pada kita, mau atau tidak kita bertaubat dan kembali pada ajaran Al-Qur’an dan hadis.

Bagi yang tetap berkeyakinan bahwa kesesatan hanya bisa diketahui jika manusia harus bertatap muka langsung dengan Tuhannya, maka atas dasar apa ia membangun sikapnya seperti itu. Dia anggap Al-Qur’an dan hadis itu apa? Apa dianggapnya dua sumber wahyu itu sebagai titah tak bermakna dari nenek moyangnya? Apa ia mengingkari perjuangan para nabi yang telah bersusah payah menyampaikan kebenaran kepada manusia! Setiap orang memang berhak berkomentar, namun alangkah baiknya jika ia berkomentar sesuai kompetensinya. Agama bukan masalah sepele yang tiap orang berhak menyatakan interpretasinya. Serahkan pada pihak yang memiliki otoritas, yaitu ulama. Jika tiap orang merasa berkompetensi memberikan resep obat, maka mungkin akan banyak orang yang keracunan, overdosis, bahkan mati seketika. Maka begitu juga agama, bila semua orang merasa memiliki kewenangan menginterpretasi agama, maka akan banyak orang yang tersesat, “Maka bertanyalah kepada ahli zikir (ulama), jika kamu tidak mengetahui.” Wallahua’lam

Belajar Memasrahkan Rezeki

Syukur selalu terucap tatkala mata menatap mentari. Waktu terus berganti seiring kegelapan yang beralih terang. Cahaya membangkitkan umat manusia dari lelapnya yang begitu panjang. Kehidupan kembali berjalan, bersamaan dengan bunga-bunga yang mulai bermekaran. Dinginnya malam pun sirna dengan kehadiran hangatnya pagi. Daun tak lagi meneteskan embun bersamaan sinar yang kian terik, mungkinkah ini pertanda air mata duka segera berganti air mata kebahagiaan. Sorot sinar mentari menyiratkan bahwa seberat apapun kehidupan, sekelam apapun jalan yang pernah dilalui, selalu akan ada secercah harapan. Begitulah filosofi kehidupan, di belahan bumi manapun, pekatnya malam selalu silih berganti dengan cerahnya mentari. Tiada sungai yang tak mengalir, tiada samudera yang tak berarus, tiada laut yang tak pasang-surut, tiada pantai yang tak berombak; hidup tak pernah statis maupun stagnan, namun selalu bergerak mengikuti dinamika ketentuan dan takdir yang telah Tuhan gariskan untuk setiap hamba-Nya.

Inilah kisah makhluk ciptaan Tuhan yang mampu terbang di angkasa dan menjelajah bumi tanpa terhalang oleh batas alam. Kala pagi kembali hadir, burung-burung beterbangan mengepakkan sayapnya memburu karunia Tuhan. Perut mereka yang keroncongan tidak menyurutkan keyakinan bahwa Tuhan nanti sore pasti akan menjadikan perut mereka kenyang. Mereka pun terbang ke arah yang mampu dituju. Kemanapun itu, di belahan bumi manapun, disana selalu ada benih rejeki yang telah Tuhan taburkan. Burung selalu yakin mampu menembus angin yang kencang. Mereka tak takut tersesat ditengah luasnya langit. Nalurinya tak pula resah apalagi berkeluh resah tentang rezeki yang telah ditentukan. Dirinya tiada terhadang oleh badai yang datang menerjang. Tubuhnya terus berayun memburu takdir diantara kilatan-kilatan petir. Hujan yang mengguyur tidak menyiutkan nyalinya untuk berteduh. Burung-burung itu tahu, rezeki telah menanti. Nyatanya, rezeki yang tak terduga selalu saja menghampiri. Waktu terus berlanjut, burung-burung itu pun kian yakin, Tuhan takkan pernah menghianati mereka.

Burung-burung bahagia hidup di alam bebas. Kebahagiaan tak terperi mampu terbang menjelajah seantero bumi. Demi ritual migrasi, mereka rela menempuh jarak beribu mil, berhari-hari, dan hanya sesekali berhenti. Tak terlintas untuk menyerah meski ancaman kematian terus menghantui. Burung-burung itu, begitu teguh mengikuti nalurinya. Tiada mereka mempertanyakan ketentuan Tuhan yang teramat berat ini. Beribu mil mesti ditempuh sepanjang tahun, dengan resiko mati tercabik oleh mulut pemangsa. Hanya dengan berbekal naluri dan keyakinan, burung-burung itu terus melaju dan menembus awan hingga pemberhentian akhir di belahan bumi yang lain.

Disaat makhluk lain yang bernama manusia berperang demi memperebutkan sumber daya alam, burung dengan eloknya terbang tanpa dihinggapi rasa takut kekurangan makanan. Sebaliknya, manusia sampai rela mencuri, membunuh, memfitnah, dan membantai demi memenuhi hasratnya terhadap sepiring makanan. Sepiring makanan yang tak hanya sekedar mengenyangkan perutnya, namun juga memenuhi nafsunya terhadap kekuasaan. Segenggam biji telah cukup menjadikan burung bersyukur pada Tuhannya. Akan tetapi sepiring makanan tidak menjadikan hasrat manusia puas. Sepiring makanan mendorong ambisi untuk meraih keinginan yang lebih tinggi lagi. Ketakutan akan keterbatasan sumber alam sanggup mendorong manusia untuk bertempur hingga titik darah penghabisan. Pada sisi ini, barangkali naluri burung lebih beradab dibanding akal manusia. Seringkali akal yang terbatas ruang pikirnya dipaksa untuk memasuki zona ketuhanan yang takkan pernah mampu dijangkau oleh indera makhluk manapun. Manusia hanya diminta oleh Tuhan sebagaimana perintah-Nya pada burung, yaitu berusaha. Manusia diwajibkan untuk untuk berusaha sebaik-baiknya, namun tak dipaksa untuk berhasil. Oleh karenanya, masalah kadar rezeki yang akan diperoleh, maka serahkan semuanya pada kuasa-Nya. Dalam hal kebahagiaan, boleh jadi burung menjadi makhluk yang paling bahagia. Sebaliknya manusia, jiwa mereka acapkali sakit karena selalu dilanda kegundahan atau dirudung kecemasan. Naluri membimbing burung untuk senantiasa bertawakal, kepasrahan diri yang tinggi. Sedangkan akal manusia seringkali memberontak, bahkan selalu mempertanyakan ketentuan Tuhan.

Barangkali kita harus banyak belajar bagaimana burung menjalani hidupnya. Sebelum manusia mengenal jam kerja 8 jam, ternyata burung sudah menerapkan jam kerja. Burung mencari makan di pagi hari dan kembali ke sarangnya saat waktu menjelang sore. Sebelum manusia bisa terbang ke angkasa, maka burung telah menjelajah seisi dunia. Dalam banyak hal, terutama ketawakalan, manusia masih harus belajar kepada burung. Jika ketawakalan pada setiap insan begitu kokoh, maka tiada lagi istilah gila, stress, frustasi, depresi, cemas, ataupun takut. Tawakal adalah sumber kebahagiaan, karena menyandarkan kehidupan kepada Sang Pemilik Kehidupan. Jiwa yang bahagia tentu akan menjadi jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat akan membentuk manusia berperilakuan yang baik. Manusia berperilakuan baik akan membentuk masyarakat yang beradab. Masyarakat yang beradab akan membentuk kebudayaan yang bernilai tinggi. Kebudayaan yang bernilai tinggi merupakan pintu bangsa menuju negara dengan puncak kejayaan dan kedigdayaan. Hanya Tuhan yang tahu, apa yang baik untuk kita.

Merajut Mimpi Yang Terkoyak

Setiap manusia selalu memiliki mimpi-mimpi. Kata seorang ulama, tanda sehatnya akal seseorang adalah mimpi yang tinggi. Mimpi disini maksudnya bukan bunga tidur, tapi menunjuk pada padanan kata cita-cita. Tentu standar tinggi-rendahnya cita-cita dikembalikan pada masing-masing individu. Bisa jadi menurut si empunya mimpi, mimpinya itu sudah terlampau tinggi. Namun dalam pandangan orang lain, bisa jadi mimpinya dianggap terlalu rendah.

Nah, kalau ada orang yang merendahkan mimpi-mimpimu, dianggap kurang waras, mustahil, ganjil, gila, atau sinting, maka janganlah gentar untuk terus melangkah maju. Tapi kuingatkan, itupun jika yang menilai hanya dua atau tiga orang saja. Sangat wajar ada segelintir manusia di muka bumi ini yang selalu berlawanan pikiran denganmu. Mereka ini, yang kerjaannya selalu tampil beda denganmu, bisa jadi telah terserang penyakit dengki. Camkan itu, dengki! Mudahlah mencari penangkal gangguan penyakit dengki macam itu. Teruslah sukses. Kalaupun gagal, jangan biarkan sekalipun kegagalanmu tampak oleh mereka. Mereka akan frustasi dan stress setiap melihat engkau dihinggapi kesuksesan. Tabiat pendengki, selalu stress dan frustasi melihat lawannya selalu berhasil. Orang pun sudah mafhum, gangguan stress bisa memicu ragam penyakit. Jantung, darah tinggi, stroke, adalah sebagian kecil penyakit yang biasa hinggap pada penderita otak korslet seperti dengki. Cepat atau lambat, pendengki akan mati dengan ulahnya sendiri. Beragam rupa penyakit bermunculan dalam tubuhnya. Tubuh pun lama kelamaan tak sanggup menahan gempuran bibit penyakit, bakteri atau virus yang menyusup ke dalam tubuhnya. Matilah ia secara tersiksa. Tak perlu ke dukun meminta santet sakti. Buat apa pula menyewa pembunuh bayaran. Sungguh repot harus membeli racun. Bersahabatlah dengan sukses, maka pendengki akan terus pusing otaknya. Dia mati sedikit demi sedikit, tersiksa. Musuhmu berguguran, tanpa engkau harus mengotori tanganmu dengan secercah darah pun. Kau tumbuh sukses, virus disekitarmu dengan sendirinya berguguran. Begitulah sahabat super! Akan tetapi, perhatikan, bila ternyata semua orang yang kau temui menilai mimpimu gila, maka kusarankan segeralah kau pergi ke ahli jiwa. Ah, tapi apa peduli orang lain, usah kau hiraukan. Ingatlah rekat-rekat petuah Bang Iwan Fals, “Biar mereka bicara, telinga kita terkunci!” Mantap bukan main nasihat Bang Iwan itu.

Hal yang paling sulit untuk aku rumuskan tentang hidupku adalah menentukan mimpi-mimpi yang ingin kuraih. Tempo dulu waktu aku kecil, waktu ingus masih sering keluar dari lubang hidungku, aku ingin sekali bisa menjadi pemain bola. Sejak kecil, tepatnya, ah, lupa aku, kira-kira sejak SD-lah, aku sudah sering berkeliling dari satu lapangan ke lapangan yang lain hanya untuk bisa menyepak bola. Tak tanggung-tanggung, berkilo-kilometer pun aku lalui, tentunya bersama kawan-kawanku, mencari lawan tanding sepakbola. Jadilah aku dan kawan-kawanku sekomplotan bocah petualang yang senang mencari musuh. Musuh dalam artian positif, lawan tanding bola. Pastilah aku enggan untuk berkumpul-kumpul guna mencari keributan. Semenjak kecil, aku selalu ditanamkan untuk cinta perdamaian dan anti kekerasan. Tak ada istilah anarki dalam benakku. Pernyataanku ini sungguhlah jujur, sebab berdasar perenunganku, tindakan paling brutal yang pernah aku lakukan adalah saat membaringkan kepala sapi yang disembelih secara keji oleh seorang penjagal tak berpengalaman pada saat idul kurban beberapa tahun yang lalu. Kusarankan jangan kau bayangkan ekspresi sapi disembelih oleh penjagal tak berpengalaman. Luar biasa seramnya wajah sapi itu, tak tega aku. Ditangan orang sepertinya itulah, syariat sembelih kurban bisa disidangkan ke Mahkamah Internasional di Den Haag sana. Apalagi kalau bukan atas nama hak asasi hewan ternak!

Seingatku, menjadi pemain bola adalah obsesiku semenjak SD sampai SMP. Pada masa SMA, diriku vakum cita-cita. Mungkin itu tanda-tanda kalau akalku, berdasar maklumat sang ulama, agak kurang sempurna. Perlu dipahami, kalimat “akal agak kurang sempurna” adalah penghalusan dari ungkapan “tidak waras”. Tetapi aku bisa disebut sebagai fanatik sepakbola. Sewaktu akan menjalani ujian akhir nasional kelas 6 SD, ketika teman sebayaku mungkin mengalami kepenatan dengan buku-bukunya, aku justru ke lapangan bermain bola. Berbagai bentuk kontur dan jenis lapangan sepakbola pernah aku rasakan. Aku pernah bermain di lapangan bekas penggarapan sawah, tempat pembuangan sampah, tanah sengketa, tanah tak bertuan, kebun kelapa, halaman masjid, jalanan aspal, tanah miring, bahkan kuburan! Kuburan? Tentu bukan bermain tepat di atas kubur itu. Lapangan itu dekat kuburan. Kalau bola tertendang jauh ke sisi selatan lapangan, maka tersangkutlah bola itu disalah satu pusara di pemakaman. Untuk mengambil bola, jangan lupa ritual ucapkan salam dan masuk dengan berjinjit, karena kita akan masuk ke area padat pemakaman. Segala cedera pun pernah aku alami. Bukan hal aneh kaki terkilir, tangan keseleo, atau lutut terluka. Tampaknya menyakitkan dengan berbagai derita yang harus aku alami. Namun dibalik derita itu akan selalu ada hikmah, itulah kata pak haji.

Begitu luasnya pengembaraanku bertanding sepakbola, dari satu lapangan ke lapangan yang lain, tanpa disadari, menjadikan aku punya banyak kawan. Ketika aku bermain ke selatan kampungku, ada saja yang menyapaku. Beralih ke barat kampungku, aih, tampak ada yang melambai. Berkunjung ke timur, ada yang mengajakku bincang-bincang. Melangkah ke utara, ternyata ada yang mengucapkan salam. Elok bukan main, itulah saat dimana aku merasa jadi orang terkenal di kampungku. Sungguh beda saat ini, setelah lama aku merantau dan kembali ke kampungku, justru aku merasa seperti orang asing. Tiada yang menyapaku, semua orang abai dengan kehadiranku, bahkan seringkali orang malah memalingkan mukanya dari pandanganku. Berbeda, sungguh sangat berbeda, seakan tak lagi yang aku kenal di kampungku ini. Apalagi disaat menganggur, bermacam gejala perilaku aneh mulai menjangkiti. Aku lebih senang menyepi. Berusaha lari dari keberadaan manusia. Selalu ada prasangka. Mulai menyukai aktivitas monoton dan berulang-ulang, seperti lebih suka membaca buku berulang-ulang. Begitu tamat, ku baca lagi. Tamat lagi, ku baca lagi. Selesai, aku ulang dari awal lagi. Mungkin ini gejala autis, phobia, dan depresi. Tiga gejala gangguan jiwa bereaksi secara simultan, sungguh mengenaskan.

Cita-citaku memang seperti kerumunan ikan koki diberi makan, timbul dan tenggelam. Menjadi pemain sepakbola pun tidak mungkin diwujudkan. Selain tidak mendapat restu orangtua, aku pun tidak mempunyai klub. Mustahil bagi seseorang yang tidak memiliki klub bisa berkiprah dalam ajang sepakbola profesional. Setamat SMA, muncul kembali cita-cita gemilang. Hebat bukan kepalang cita-cita baruku, menjadi ahli jiwa! Berjuanglah aku mati-matian untuk bisa kuliah di fakultas ilmu jiwa, di sebuah universitas yang konon kabarnya cukup terkemuka di negeri ini. Tak tanggung-tanggung, targetku adalah menjadi doktor dalam ilmu jiwa. Tapi sayang, tampaknya pilihan itu sulit aku wujudkan. Baru lulus sarjana dari bidang ilmu jiwa, ternyata aku sudah dibuat trauma dan mengidap berbagai gejala gangguan jiwa. Pusing bukan kepalang aku untuk memulihkannya. Mungkin aku lebih baik menjadi guru mengaji daripada menjadi ahli jiwa.
Setelah aku merevisi cita-citaku sebagai ahli jiwa, aku pun berusaha mencari cita-cita yang ingin aku gapai. Tatkala aku naik bus antar kota antar provinsi, aku berpikir betapa nikmatnya bisa menjadi kernet bus antar kota antar provinsi. Kernet itu bisa hilir mudik, traveling, jalan-jalan keliling kota gratis! Aku suka mengamati tingkah mereka. Saat akan berangkat, dia hanya berkemas-kemas merapikan barang bawaan penumpang. Lalu mengecek daftar penumpang sebelum bus melaju, kemudian dia duduk tenang disamping sopir setelah bus berjalan. Sambil duduk itu, dia hanya mengamati jalan, terkadang sambil merokok atau memutar lagu. Aih, nikmat sekali hidupnya, itu pikirku.

Dilain waktu, aku duduk termenung di masjid mengamati seorang imam masjid. Dalam pikiranku, alangkah beruntungnya dia menjadi imam. Segala geraknya selalu diikuti. Orang-orang yang berdiri dibelakangnya hanya mengikuti, tiada yang menentang. Saat dia sujud, orang lain pun ikut sujud. Ketika dia duduk, orang lain pun duduk. Tatkala kepalanya menoleh sambil mengucap salam, orang-orang pun tak protes, turut mengikutinya. Tak peduli orang susah atau pejabat, bahkan presiden, jika mereka menjadi makmum, maka harus patuh pada imam. Menjadi imam bak diktator, setiap katanya harus disimak, geraknya harus diikuti, dan doanya harus di-amin-i. Tak ada kompromi bagi makmum, tak boleh protes, ketaatan mutlak, siapa berani melawan, berarti solatnya tidak sah! Bayangkan olehmu kawan, jika imam sujud, lalu ada makmum yang protes tetap berdiri. Apa jadi solatnya? Tak ada demokrasi dalam solat berjama’ah. Laporlah pada Komnas HAM atau PBB, solat jama’ah akan selalu begitu ketentuannya. Pikirku, beruntunglah orang yang menjadi imam itu.

Pada lain kesempatan, aku merenungi lantunan azan dari masjid sebelahku. Begitu azan berkumandang, maka mulai berdatangan orang-orang dengan pakaian rapi dan bersih ke masjid. Saat azan nyaring diangkasa, seluruh kegiatan seakan terhenti sejenak. Suara tv dan radio dilirihkan. Percakapan terdiam sesaat, pekerjaan ditunda. Seakan-akan tidak ada yang berani menyaingi perintah yang terdengar dari corong suara masjid itu. Aku kagum pada muadzin, panggilannya mampu menghentikan segala kesibukan manusia. Pikirku, nikmatnya menjadi muadzin.

Saat yang berbeda lagi, aku termenung lagi. Sewaktu aku menonton sebuah acara petualangan, terlintas dalam pikiranku, beruntungnya host dan camera person-nya. Mereka bisa berpetualang ke berbagai tempat, menikmati keindahan alam semesta, lalu mencicipi makanan khas daerah setempat. Tapi apalah daya, aku lihat cermin, lalu kutatapi dalam-dalam cermin itu. Harus aku akui, wajahku belum dibilang layak tampil di tv.

Namun di suatu pagi, tiba-tiba aku melihat sebuah baliho yang sungguh menginspirasi. Aku amati secara seksama foto di baliho itu, perasaanku mulai bergetar. Wajahnya tersenyum mengembang pada siapa saja. Tak peduli didepannya pengemis, pengangguran, tukang sampah, pedagang kaki lima, mahasiswa, atau pejabat, senyumnya akan selalu manis. Pagi itu, aku tatap foto dirinya yang tetap tersenyum. Pikiranku melayang, timbul semangat baru. Semangat ini muncul tiba-tiba untuk membangun kembali cita-citaku. Dari foto itu, muncul keinginan kuat untuk mewujudkannya dengan sepenuh hati. Tanpa tersadar, doa mulai dipanjatkan. Kaki kian kokoh berdiri, tangan terkepal kuat. Imajinasi membawaku seakan aku mengenakan seragam yang ia kenakan. Bayang-bayangku menerbangkanku pada mimpi bahwa suatu saat di baliho itu akan terpampang wajah dan senyumku. Maka, sejatinya sejak pagi itu tekad mulai ku bulatkan, sebuah cita-cita mulia yang teramat agung, mimpi menjulang tinggi yang menunjukkan sehatnya akalku. Wahai kawan, sahabat, kerabat, saudaraku dimanapun kalian berada, aku sampaikan mimpi-mimpi mulia yang bangkit dari persemayaman hatiku yang terdalam, aku ingin menjadi Gubernur Lampung! Merdeka!

Bangsaku Di Masa Depan

Kawan, apa kiranya yang kalian pikirkan tentang Indonesia tercinta ini lima puluh tahun ke depan? Aku yakin, pasti ada di antara kalian yang akan berpikiran optimis. Barangkali para optimistik ini memperkirakan Indonesia di masa depan akan menjadi negara adidaya menggantikan Amerika. Mungkin juga, Indonesia akan menjadi pusat segala kemajuan sains, budaya, industri, pertahanan, sosial, pendidikan maupun ekonomi. Dengan berpikiran optimis, kita bisa berandai-andai, kampus terbaik tak lagi berlokasi di Inggris atau Amerika, tapi berada di Salemba, Jalan Ganesha, atau Bulaksumur. Namun bagaimana bagi para penganut pesimistik? Tentu mereka berpikir bahwa lima puluh tahun ke depan, Indonesia kemungkinan masih berkutat pada krisis ekonomi, korupsi, kemiskinan, dan pengangguran. Pengangguran? Ah, kata itu lagi. Seperti hantu saja kata itu, menakutkan. Pengangguran, kata itu memang menyeramkan, tapi ada kemungkinan yang lebih buruk yang bisa saja terjadi pada bangsa ini. Bayangkan olehmu, bagaimana jika lima puluh tahun lagi tak ada negara yang bernama Indonesia! Disintegrasi! Gawat, sungguh gawat! Perlu kalian ketahui Kawan, saat ini aku memang pengangguran, tapi bukan berarti aku berputus asa dengan nasibku yang tak kunjung membaik ini. Maksudku, tak berarti karena lamaranku selalu ditampik perusahaan dalam negeri, sehingga aku sakit hati, lantas aku melamar jadi anggota GAM, RMS, atau OPM, kemudian menjadi terobsesi untuk menjadikan Indonesia bubar, bukan itu. Aku tetap cinta Indonesia. Perkara aku selalu ditampik perusahaan dalam negeri, itu perkara mereka yang tidak mampu melihat diriku sebagai sosok yang loyal, pintar, pekerja keras, ulet, tidak sombong, dan rajin menabung. Inilah bahayanya penganut aliran pesimistik, melihat suatu objek perkara selalu dari perspektif negatif. Oleh sebab itu, kusarankan kalian, jauhilah wartawan infotainment.

Dalam perenunganku, alangkah banyaknya negara baru yang bisa terbentuk jika bangsa ini terpecah belah. Barangkali, akan muncul negara baru seperti Nangroe Aceh Darussalam, Republik Rakyat Batak, Republik Sosialis Minangkabau, Kerajaan Melayu Riau, Republik Demokratik Bengkulu, Kesultanan Lampung, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, United States of Borneo, Kekaisaran Bugis, atau United Kingdom of Papua.

Itulah bahayanya terlalu lama menganggur. Pelaku menjadi terlalu banyak merenung. Acapkali, perenungannya itu menelikung batas-batas norma dan etika. Ketika merenung, maka pelaku biasa secara sengaja membiarkan pikirannya menembus batas waktu guna menemukan kebahagiaan dalam pikirannya itu. Ada di antaranya yang berusaha mengingat kembali keindahan di masa lalu, ada pula yang berimajinasi hingga melesat ke masa depan. Bagi perenung yang senang bernostalgia, mereka beranggapan bahwa masa lalunya begitu manis, dan hidup yang sedang dijalaninya saat ini teramat pahit. Sedangkan bagi perenung yang senang berangan-angan, itu lebih karena masa lalu, serta saat hidupnya kini, tiada yang bisa ia banggakan, jadilah ia berharap masa depan bisa memberinya harapan kesenangan. Hebatnya lagi, merenung bisa menjadikan objek yang tidak ada menjadi ada. Terdapat perbedaan signifikan antara tukang angan-angan dengan innovator. Perbedaan utamanya yaitu, pada tukang angan-angan, ia tidak akan pernah berusaha meraih atau mewujudkan objek yang tergambar dalam pikirannya tentang masa depan. Lain halnya dengan innovator, pikirannya melesat hingga ke masa depan, namun mereka berusaha mewujudkan objek yang tertangkap dalam pikirannya tentang segala kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jika tak ada sosok innovator seperti Thomas Alva Edison, maka jadilah kita selalu hidup dalam masa kegelapan, tanpa lampu. Dan apa gunanya seseorang dipanggil orang pintar (baca: peramal) namun hanya banyak berkhayal, sementara ia sendiri tak mampu menghilangkan kata “Bodo” dari namanya.

Dalam tiap perenungan, tidak selalu seseorang mendapatkan kebahagiaan. Seringkali mereka malah mengalami stress tingkat tinggi. Tekanan tinggi itu disebabkan pikirannya telah memasuki zona prediksi negatif. Perenung yang mendapat kebahagiaan, mereka selalu berpikir masa depannya akan cerah, secerah pagi di musim kemarau. Sebaliknya, perenung yang tersiksa, selalu meramalkan hidupnya kelak akan melarat, miskin, kelaparan, terlilit utang, atau dihinggapi banyak penyakit. Seseorang yang pikirannya memasuki zona prediksi negatif, melihat dirinya senantiasa diintai oleh kemungkinan-kemungkinan buruk berupa segala macam kesengsaraan. Keberanian memasuki zona prediksi negatif dapat berakibat fatal. Akibat terburuk tentunya menjadi komplotan orang sinting di jalanan yang selalu disalaki anjing rabies, sedangkan dampak teringan setidaknya menjadi pecandu obat Bodrex. Maka kusarankan, jauhilah pikiranmu dari zona prediksi negatif. Kalaupun engkau nekat memasuki zona itu, janganlah berlama-lama berada di sana, bahaya!

Hal yang lebih berbahaya dari zona prediksi negatif, yaitu zona alam ghaib. Tampaknya memang mistis, namun ku peringatkan keras, jangan sekali-kali pikiranmu memasuki zona sangat terlarang itu. Usahlah sekali-kali engkau memikirkan bentuk rupa jin, iblis, atau setan. Bila nyatanya dirimu penakut, siap-siaplah engkau mengidap schizophrenia, atau minimal menjadi phobia. Jangankan ditempat gelap seperti kuburan, berada di rumah sakit siang bolong pun bisa membuatmu takut karena pikiranmu akan terasosiasi pada suster ngesot. Jika ada pelawak yang juga meminati dunia mistis, maka dirinya berpotensi terkena gejala gila dua alam, yaitu gila di dunia maupun di akhirat. Tiada perlu pula memikirkan Tuhan. Ku yakinkan, Tuhan akan selalu baik-baik saja tanpa perlu engkau pikirkan. Dia sudah pasti ada tanpa perlu repot-repot dibuktikan dengan segala bentuk percobaan eksperimen. Jika nekat memikirkan ada-tidaknya Tuhan, kemungkinan terburuk adalah bakal gantung diri dengan tali jemuran, atau minimal menjadi penghuni seumur hidup rumah sakit jiwa.

Tidur merupakan cara paling jitu mengendalikan pikiran. Dengan tidur, berarti kita secara sengaja tidak memfungsikan otak untuk berpikir. Bisa jadi hipotesisku ini salah. Tapi, apakah bisa seseorang yang tertidur pulas sambil memikirkan sesuatu? Alhamdulillah ya, sepertinya tidak bisa. Jika masih memikirkan sesuatu, berarti kita belum tertidur pulas. Namun, janganlah tidur terlalu lama. Resiko terburuk tidur terlalu lama adalah tidak bisa bangun lagi, sedangkan resiko teringan yaitu tak kunjung mendapat pekerjaan.

Bila bangsa ini semakin maju, berharap saja penggangguran akan berada pada titik terendah 0%. Betapa ruginya bangsa ini membiarkan bertumpuk-tumpuk generasi mudanya dibiarkan menganggur. Disaat negara lain, seperti Jerman dan Jepang bingung digerogoti oleh kaum tua, justru bangsa ini membiarkan potensi kaum mudanya terlunta-lunta. Semoga tiada lagi yang tersiksa dengan pikirannya sendiri. Jika engkau masih menganggur, tetaplah bersyukur, setidaknya engkau diberi Tuhan banyak waktu untuk berimajinasi. Tetaplah bersyukur.