Setiap manusia selalu memiliki mimpi-mimpi. Kata seorang ulama, tanda sehatnya akal seseorang adalah mimpi yang tinggi. Mimpi disini maksudnya bukan bunga tidur, tapi menunjuk pada padanan kata cita-cita. Tentu standar tinggi-rendahnya cita-cita dikembalikan pada masing-masing individu. Bisa jadi menurut si empunya mimpi, mimpinya itu sudah terlampau tinggi. Namun dalam pandangan orang lain, bisa jadi mimpinya dianggap terlalu rendah.
Nah, kalau ada orang yang merendahkan mimpi-mimpimu, dianggap kurang waras, mustahil, ganjil, gila, atau sinting, maka janganlah gentar untuk terus melangkah maju. Tapi kuingatkan, itupun jika yang menilai hanya dua atau tiga orang saja. Sangat wajar ada segelintir manusia di muka bumi ini yang selalu berlawanan pikiran denganmu. Mereka ini, yang kerjaannya selalu tampil beda denganmu, bisa jadi telah terserang penyakit dengki. Camkan itu, dengki! Mudahlah mencari penangkal gangguan penyakit dengki macam itu. Teruslah sukses. Kalaupun gagal, jangan biarkan sekalipun kegagalanmu tampak oleh mereka. Mereka akan frustasi dan stress setiap melihat engkau dihinggapi kesuksesan. Tabiat pendengki, selalu stress dan frustasi melihat lawannya selalu berhasil. Orang pun sudah mafhum, gangguan stress bisa memicu ragam penyakit. Jantung, darah tinggi, stroke, adalah sebagian kecil penyakit yang biasa hinggap pada penderita otak korslet seperti dengki. Cepat atau lambat, pendengki akan mati dengan ulahnya sendiri. Beragam rupa penyakit bermunculan dalam tubuhnya. Tubuh pun lama kelamaan tak sanggup menahan gempuran bibit penyakit, bakteri atau virus yang menyusup ke dalam tubuhnya. Matilah ia secara tersiksa. Tak perlu ke dukun meminta santet sakti. Buat apa pula menyewa pembunuh bayaran. Sungguh repot harus membeli racun. Bersahabatlah dengan sukses, maka pendengki akan terus pusing otaknya. Dia mati sedikit demi sedikit, tersiksa. Musuhmu berguguran, tanpa engkau harus mengotori tanganmu dengan secercah darah pun. Kau tumbuh sukses, virus disekitarmu dengan sendirinya berguguran. Begitulah sahabat super! Akan tetapi, perhatikan, bila ternyata semua orang yang kau temui menilai mimpimu gila, maka kusarankan segeralah kau pergi ke ahli jiwa. Ah, tapi apa peduli orang lain, usah kau hiraukan. Ingatlah rekat-rekat petuah Bang Iwan Fals, “Biar mereka bicara, telinga kita terkunci!” Mantap bukan main nasihat Bang Iwan itu.
Hal yang paling sulit untuk aku rumuskan tentang hidupku adalah menentukan mimpi-mimpi yang ingin kuraih. Tempo dulu waktu aku kecil, waktu ingus masih sering keluar dari lubang hidungku, aku ingin sekali bisa menjadi pemain bola. Sejak kecil, tepatnya, ah, lupa aku, kira-kira sejak SD-lah, aku sudah sering berkeliling dari satu lapangan ke lapangan yang lain hanya untuk bisa menyepak bola. Tak tanggung-tanggung, berkilo-kilometer pun aku lalui, tentunya bersama kawan-kawanku, mencari lawan tanding sepakbola. Jadilah aku dan kawan-kawanku sekomplotan bocah petualang yang senang mencari musuh. Musuh dalam artian positif, lawan tanding bola. Pastilah aku enggan untuk berkumpul-kumpul guna mencari keributan. Semenjak kecil, aku selalu ditanamkan untuk cinta perdamaian dan anti kekerasan. Tak ada istilah anarki dalam benakku. Pernyataanku ini sungguhlah jujur, sebab berdasar perenunganku, tindakan paling brutal yang pernah aku lakukan adalah saat membaringkan kepala sapi yang disembelih secara keji oleh seorang penjagal tak berpengalaman pada saat idul kurban beberapa tahun yang lalu. Kusarankan jangan kau bayangkan ekspresi sapi disembelih oleh penjagal tak berpengalaman. Luar biasa seramnya wajah sapi itu, tak tega aku. Ditangan orang sepertinya itulah, syariat sembelih kurban bisa disidangkan ke Mahkamah Internasional di Den Haag sana. Apalagi kalau bukan atas nama hak asasi hewan ternak!
Seingatku, menjadi pemain bola adalah obsesiku semenjak SD sampai SMP. Pada masa SMA, diriku vakum cita-cita. Mungkin itu tanda-tanda kalau akalku, berdasar maklumat sang ulama, agak kurang sempurna. Perlu dipahami, kalimat “akal agak kurang sempurna” adalah penghalusan dari ungkapan “tidak waras”. Tetapi aku bisa disebut sebagai fanatik sepakbola. Sewaktu akan menjalani ujian akhir nasional kelas 6 SD, ketika teman sebayaku mungkin mengalami kepenatan dengan buku-bukunya, aku justru ke lapangan bermain bola. Berbagai bentuk kontur dan jenis lapangan sepakbola pernah aku rasakan. Aku pernah bermain di lapangan bekas penggarapan sawah, tempat pembuangan sampah, tanah sengketa, tanah tak bertuan, kebun kelapa, halaman masjid, jalanan aspal, tanah miring, bahkan kuburan! Kuburan? Tentu bukan bermain tepat di atas kubur itu. Lapangan itu dekat kuburan. Kalau bola tertendang jauh ke sisi selatan lapangan, maka tersangkutlah bola itu disalah satu pusara di pemakaman. Untuk mengambil bola, jangan lupa ritual ucapkan salam dan masuk dengan berjinjit, karena kita akan masuk ke area padat pemakaman. Segala cedera pun pernah aku alami. Bukan hal aneh kaki terkilir, tangan keseleo, atau lutut terluka. Tampaknya menyakitkan dengan berbagai derita yang harus aku alami. Namun dibalik derita itu akan selalu ada hikmah, itulah kata pak haji.
Begitu luasnya pengembaraanku bertanding sepakbola, dari satu lapangan ke lapangan yang lain, tanpa disadari, menjadikan aku punya banyak kawan. Ketika aku bermain ke selatan kampungku, ada saja yang menyapaku. Beralih ke barat kampungku, aih, tampak ada yang melambai. Berkunjung ke timur, ada yang mengajakku bincang-bincang. Melangkah ke utara, ternyata ada yang mengucapkan salam. Elok bukan main, itulah saat dimana aku merasa jadi orang terkenal di kampungku. Sungguh beda saat ini, setelah lama aku merantau dan kembali ke kampungku, justru aku merasa seperti orang asing. Tiada yang menyapaku, semua orang abai dengan kehadiranku, bahkan seringkali orang malah memalingkan mukanya dari pandanganku. Berbeda, sungguh sangat berbeda, seakan tak lagi yang aku kenal di kampungku ini. Apalagi disaat menganggur, bermacam gejala perilaku aneh mulai menjangkiti. Aku lebih senang menyepi. Berusaha lari dari keberadaan manusia. Selalu ada prasangka. Mulai menyukai aktivitas monoton dan berulang-ulang, seperti lebih suka membaca buku berulang-ulang. Begitu tamat, ku baca lagi. Tamat lagi, ku baca lagi. Selesai, aku ulang dari awal lagi. Mungkin ini gejala autis, phobia, dan depresi. Tiga gejala gangguan jiwa bereaksi secara simultan, sungguh mengenaskan.
Cita-citaku memang seperti kerumunan ikan koki diberi makan, timbul dan tenggelam. Menjadi pemain sepakbola pun tidak mungkin diwujudkan. Selain tidak mendapat restu orangtua, aku pun tidak mempunyai klub. Mustahil bagi seseorang yang tidak memiliki klub bisa berkiprah dalam ajang sepakbola profesional. Setamat SMA, muncul kembali cita-cita gemilang. Hebat bukan kepalang cita-cita baruku, menjadi ahli jiwa! Berjuanglah aku mati-matian untuk bisa kuliah di fakultas ilmu jiwa, di sebuah universitas yang konon kabarnya cukup terkemuka di negeri ini. Tak tanggung-tanggung, targetku adalah menjadi doktor dalam ilmu jiwa. Tapi sayang, tampaknya pilihan itu sulit aku wujudkan. Baru lulus sarjana dari bidang ilmu jiwa, ternyata aku sudah dibuat trauma dan mengidap berbagai gejala gangguan jiwa. Pusing bukan kepalang aku untuk memulihkannya. Mungkin aku lebih baik menjadi guru mengaji daripada menjadi ahli jiwa.
Setelah aku merevisi cita-citaku sebagai ahli jiwa, aku pun berusaha mencari cita-cita yang ingin aku gapai. Tatkala aku naik bus antar kota antar provinsi, aku berpikir betapa nikmatnya bisa menjadi kernet bus antar kota antar provinsi. Kernet itu bisa hilir mudik, traveling, jalan-jalan keliling kota gratis! Aku suka mengamati tingkah mereka. Saat akan berangkat, dia hanya berkemas-kemas merapikan barang bawaan penumpang. Lalu mengecek daftar penumpang sebelum bus melaju, kemudian dia duduk tenang disamping sopir setelah bus berjalan. Sambil duduk itu, dia hanya mengamati jalan, terkadang sambil merokok atau memutar lagu. Aih, nikmat sekali hidupnya, itu pikirku.
Dilain waktu, aku duduk termenung di masjid mengamati seorang imam masjid. Dalam pikiranku, alangkah beruntungnya dia menjadi imam. Segala geraknya selalu diikuti. Orang-orang yang berdiri dibelakangnya hanya mengikuti, tiada yang menentang. Saat dia sujud, orang lain pun ikut sujud. Ketika dia duduk, orang lain pun duduk. Tatkala kepalanya menoleh sambil mengucap salam, orang-orang pun tak protes, turut mengikutinya. Tak peduli orang susah atau pejabat, bahkan presiden, jika mereka menjadi makmum, maka harus patuh pada imam. Menjadi imam bak diktator, setiap katanya harus disimak, geraknya harus diikuti, dan doanya harus di-amin-i. Tak ada kompromi bagi makmum, tak boleh protes, ketaatan mutlak, siapa berani melawan, berarti solatnya tidak sah! Bayangkan olehmu kawan, jika imam sujud, lalu ada makmum yang protes tetap berdiri. Apa jadi solatnya? Tak ada demokrasi dalam solat berjama’ah. Laporlah pada Komnas HAM atau PBB, solat jama’ah akan selalu begitu ketentuannya. Pikirku, beruntunglah orang yang menjadi imam itu.
Pada lain kesempatan, aku merenungi lantunan azan dari masjid sebelahku. Begitu azan berkumandang, maka mulai berdatangan orang-orang dengan pakaian rapi dan bersih ke masjid. Saat azan nyaring diangkasa, seluruh kegiatan seakan terhenti sejenak. Suara tv dan radio dilirihkan. Percakapan terdiam sesaat, pekerjaan ditunda. Seakan-akan tidak ada yang berani menyaingi perintah yang terdengar dari corong suara masjid itu. Aku kagum pada muadzin, panggilannya mampu menghentikan segala kesibukan manusia. Pikirku, nikmatnya menjadi muadzin.
Saat yang berbeda lagi, aku termenung lagi. Sewaktu aku menonton sebuah acara petualangan, terlintas dalam pikiranku, beruntungnya host dan camera person-nya. Mereka bisa berpetualang ke berbagai tempat, menikmati keindahan alam semesta, lalu mencicipi makanan khas daerah setempat. Tapi apalah daya, aku lihat cermin, lalu kutatapi dalam-dalam cermin itu. Harus aku akui, wajahku belum dibilang layak tampil di tv.
Namun di suatu pagi, tiba-tiba aku melihat sebuah baliho yang sungguh menginspirasi. Aku amati secara seksama foto di baliho itu, perasaanku mulai bergetar. Wajahnya tersenyum mengembang pada siapa saja. Tak peduli didepannya pengemis, pengangguran, tukang sampah, pedagang kaki lima, mahasiswa, atau pejabat, senyumnya akan selalu manis. Pagi itu, aku tatap foto dirinya yang tetap tersenyum. Pikiranku melayang, timbul semangat baru. Semangat ini muncul tiba-tiba untuk membangun kembali cita-citaku. Dari foto itu, muncul keinginan kuat untuk mewujudkannya dengan sepenuh hati. Tanpa tersadar, doa mulai dipanjatkan. Kaki kian kokoh berdiri, tangan terkepal kuat. Imajinasi membawaku seakan aku mengenakan seragam yang ia kenakan. Bayang-bayangku menerbangkanku pada mimpi bahwa suatu saat di baliho itu akan terpampang wajah dan senyumku. Maka, sejatinya sejak pagi itu tekad mulai ku bulatkan, sebuah cita-cita mulia yang teramat agung, mimpi menjulang tinggi yang menunjukkan sehatnya akalku. Wahai kawan, sahabat, kerabat, saudaraku dimanapun kalian berada, aku sampaikan mimpi-mimpi mulia yang bangkit dari persemayaman hatiku yang terdalam, aku ingin menjadi Gubernur Lampung! Merdeka!